Merayakan Tradisi Kupat: Makna Mendalam di Balik Puasa dan Lebaran

Tradisi pasca-puasa dan lebaran menghadirkan tradisi yang di beberapa daerah dilaksanakan pada hari ketujuh bulan syawal atau biasa disebut dengan lebaran ketupat, seperti yang dikenal dalam budaya Jawa dengan sebutan “kupat.” Dalam ajaran Sunan Bonang, penting untuk berpuasa dengan tulus dan hanya mencari ridho Allah agar setelah berpuasa dapat menikmati kupat sebagai simbol keberkahan. Kupat adalah hidangan istimewa yang sering dinikmati saat perayaan lebaran, terbuat dari nasi putih yang dimasak dalam janur, yaitu daun kelapa muda.

Kupat sendiri merupakan singkatan dari “laku sing papat” yang melambangkan empat keadaan yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka yang berpuasa dengan tulus dan sungguh-sungguh. Keempat keadaan tersebut adalah “lebar,” menandakan penyelesaian puasa dengan lega; “lebur,” menyiratkan penghapusan dosa-dosa masa lalu; “luber,” melambangkan kelimpahan pahala dari amal perbuatan baik; dan “labur,” mencerminkan kesucian dan kecerahan jiwa serta hati.

Untuk meraih “laku sing papat,” manusia perlu menunjukkan sikap lembut dan santun terhadap sesama, sambil tetap teguh dan berani menentang ketidakadilan. Kesadaran batin setiap individu menentukan apakah puasa dilakukan untuk mencapai “laku sing papat” atau hanya sekadar untuk penampilan.

Janur sebagai pembungkus kupat memiliki makna simbolis sebagai pencerahan sejati atau nur. Dengan menerima cahaya sejati dari Allah, kita bisa menjadi “labur” dengan wajah dan hati yang bersinar, menggambarkan sifat Maha Pengasih dan Penyayang. Kebahagiaan sejati terwujud saat kita berbagi dengan sesama manusia, menjadi sumber rahmat bagi seluruh alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat WA
Butuh Bantuan?
Assalamu'alaikum
Selamat datang di website Ranting NU Pelem Kertosono.
Ada yang bisa kami bantu?